PINDAH KE

www.patenindonesia.com

Kamis, 16 Juni 2011

Aplikasi paten Indonesia ke AS tertinggal di antara Asean

JAKARTA: Jumlah permohonan pendaftaran paten dari Indonesia ke Amerika Serikat selama lima tahun terakhir ini jauh di bawah Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Filipina.
Paten dari Indonesia selama periode itu hanya sedikit di atas Vietnam, Myanmar dan Brunei Darussalam. Di antara delapan negara di kawasan Asean, posisi Indonesia, dalam hal jumlah paten ke AS, berada di urutan ke lima, sedangkan tiga terbawah adalah Vietnam, Myanmar dan Brunei Darussalam
Paten dari Indonesia ke Negara Paman Sam tersebut selama tahun 2010, menurut data United States Patent and Trademark Office (USPTO) hanya tercatat 6 permohonan. Angka itu memang naik 100% bila dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya ada 3 permohonan.
Jumlah permohonan paten dari Indonesia ke Negara Adidaya itu terlihat timpang sekali bila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Menurut data USPTO itu, aplikasi paten dari Singapura pada tahun 2010 mencapai 603, Malaysia (202 aplikasi), Thailand (46 aplikasi), Filipina (37 aplikasi), Indonesia (6 aplikasi), Vietnam (2 aplikasi),sementara itu Myanmar dan Brunei Darusslam tidak satupun mengajukan aplikasi paten.
Nah… bila dibandingkan dengan Indonesia, yang notabene jumlah patennya hanya ada 6 permohonan pada tahun 2010, menunjukkan aktifivitas bisnis pengusaha Indonesia yang berbasis hak kekayaan intelektual (HaKI) di AS tersebut sangat kurang.
Bila dibandingkan jumlah permohonan paten lokal masing-masing negara di Asean seperti Singapua, Malaysia, Filipina dan Indonesia sebenarnya tidak jauh bebeda, namun untuk permohonan paten ke luar negeri Indonesia jauh tertinggal dibandingkan ketiga negara tersebut.
Menurut data Malaysia Intellectual Property Office (MyIPO), permohonan paten domestik Malaysia selama tahun 2010 mencapai 1.275, sedangkan permohonan paten asal Malaysia yang menuju ke AS mencapai 113 permohonan.
Di Indonesia, menurut data Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM, permohonan paten asal domestik Indonesia selama tahun 2010 mencapai 760, sedangkan paten Indonesia yang dimohonkan ke AS hanya ada 6 aplikasi.
Bila dilihat dari angka permohonan paten domestik masing-masing negara antara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Filipina sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda.
Artinya, inventor Indonesia cukup inovatif, akan tetapi untuk permohonan pendaftaran paten ke luar negeri, Indonesia sangat tertinggal dari segi jumlahnya.
Banyak atau sedikitnya permohonan paten identik dengan kemajuauan teknologi dan inovasi di suatu negara. Makin banyak permohonan paten, menunjukkan makin banyak pula invensi baru di suatu negara.
Invensi baru itu erat kaitan dengan riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan atau lembaga riset. Dana juga amat menentukan dalam riset.
Makin banyak riset dan pengembangan yang dilakukan, kemungkinan mendapat invensi baru juga cukup banyak.
Sekedar contoh saja, Siemens, sebagaimana dikutip dari situs Siemens.com, pada tahun 2010 perusahaan asal Jerman itu mengeluarkan dana 4 miliar euro untuk program riset dan pengembangan.
Mereka memiliki 42 lembaga riset yang tersebar di banyak negara dengan melibatkan perguruan tinggi dan lembaga riset lain.
Pada tahun lalu, Siemens berhasil memiliki 8.800 invensi baru atau 40 invensi setiap hari. Invensi itu dihasilkan oleh sekitar 10.000 karyawan di bidang riset dan pengembangan.
Contoh lain adalah perusahaan Jepang seperti Sony Corporation. Menurut laporan tahunan 2010, perusahaan elektronika itu mengeluarkan dana untuk riset sebanyak 432 miliar yen.
Sudarmanto, Ketua Asosiasi pengelola kekayaan intelektual (Aspeki), mengatakan perusahaan di luar negeri sudah biasa melakukan kolaborasi dengan lembaga riset dan perguruan tinggi untuk menghasilkan invensi baru.
Di Indonesia, menurut dia, kolaborasi seperti itu belum biasa. “Saya tidak tahu kenapa, tapi mungkin masalah kepercayaan saja,”katanya.
Sudarmanto mengemukakan bahwa tidak mudah melakukan kolaborasi seperti itu. “Dulu kita pernah mengusulkan kepada pemerintah pola kerja sama antara perusahaan swasta dan peneliti, tapi belum berjalan,”ujarnya.
Usulan pola kerja sama itu, jelasnya, adalah menggunkakan dana APBN dengan menempatkan tenaga peneliti di perusahaan swasta. “Mereka digaji oleh pemerintah, perusahaan swasta tidak usah memberi apa-apa kepada peneliti, kecuali penggunaan laboratorium milik swasta untuk kepentingan riset. Pola seperti itu pun tidak jalan,”katanya.
Dia mengakui banyak kelemahahan dengan pola seperti itu antara lain ada kekhawatiran dari perusahaan setelah tenaga peneliti keluar, maka rahasia perusahan ikut dibawa.
Dia mengatakan bahwa ada perusahaan multinasional berkolaborasi dengan perguruan tinggi di Indonesia untuk melakukan riset guna menghasilkan paten sesuai dengan kebutuhan pasar.
“Huawei Technologies sudah ada kerja sama dengan ITB. Saya heran perusahaan multinasional percaya kepada lembaga riset dan perguruan tinggi di Indonesia, sementara perusahaan nasional belum percaya kepada pergurian tinggi di dalam negeri,”katanya. (soe/artikel ini juga diterbitkan di Bisnis Indonesia edisi, 16 Juni 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar